Beberapa hari yang lalu saya
menangani seorang pasien anak berumur 9 tahun yang mengalami trauma setelah
mondok di salah satu rumah tahfidz. Ketika diantar oleh ibunya, terlihat wajah
anak tersebut agar pucat, bagian bawah mata agak hitam ( mungkin karena kurang
tidur ) dan cenderung murung dan tatapan kosong. Padahal anak ini sepengetahuan
saya adalah anak yang periang. Karena beberapa tahun yang lalu, saya pernah
melakukan terapi pada anak ini dengan masalah hyper aktif.
Ibunya memutuskan untuk
mengeluarkan dari rumah tahfidz tersebut setelah melihat perubahan perilaku
dari anaknya. Anaknya dulu yang periang berubah menjadi penakut dan pemurung.
Dan si ibu sudah curiga pasti ada yang tidak beres dengan pola pendidikan di
rumah tahfidz tersebut meskipun si anak tidak pernah cerita secara detail apa
yang dia alami selama di rumah tahfidz tersebut.
Dalam wawancara, saya menemukan
suatu emosi ketakutan yang sangat intens terhadap pembinanya dan dia mengakui
bahwa pembinanya sangat galak. Untuk mengetahui secara jelas apa yang terjadi
pada diri anak, saya mulai melakukan hipnoanalysis. Saya mencari kejadian
traumatik tersebut di segmen memori anak di pikiran bawah sadar dengan
menggunakan emosi ketakutannya sebagai jembatan menuju ke memori tersebut.
Akhirnya saya menemukan 3
kejadian traumatik.
Kejadian yang pertama adalah
ketika anak terlambat kembali ke pondok setelah liburan selama 1 hari bersama
orang tuanya. Si anak mendapatkan teguran keras dari salah satu pembinanya dan
yang membuat dia sangat takut adalah pembinanya menegur dia dengan suara yang
keras, mata melotot sambil memegang besi pemukul. Menurut si anak , besi
tersebut sudah digunakan untuk menghukum salah satu temannya di rumah tahfidz
tersebut. Meskipun pada saat itu si anak tidak mendapatkan hukuman oleh sang
pembina selain teguran keras si anak tetap merasa sangat ketakutan. Dan inilah
awal mula ketakutan itu muncul dari diri si anak.
Kejadian yang kedua adalah ketika
anak sementara mendengarkan penjelasan dari sang pembina, ada temannya yang mau
meminjam pulpennya tapi dia menolak karena masih sementara mendengarkan
penjelasan dari sang pembina. Melihat kejadian itu sang pembina langsung
memarahi si anak dan temannya serta memukul kepala mereka dengan sebuah kamus
tebal. Dan si anak merasakan pukulan itu sangat menyakitkan. Spontan ketika
sang ibu mendengarkan pengakuan si anak, sang ibu langsung histeris dan
menangis. Karena saya sangat mengenal sang ibu, beliau adalah ibu yang lembut
dan bijaksana dalam mendidik anak. Mendengarkan anaknya mendapatkan kekerasan
fisik jelas dia sangat terpukul terlebih lagi dia dipukul bukan karena
kesalahan si anak. Ketika dia histeris dan menangis saya langsung berusaha
menenangkan dia agar tidak mengganggu proses terapi anak. Setelah sang ibu
tenang, terapi saya lanjutkan.
Kejadian yang ketiga adalah pada
saat shalat berjamaah, ada teman si anak yang main-main ketika shalat di belakang
( kebetulan si anak ada di shaf belakang ) dan beberapa orang yang dibelakang
langsung dipukul punggungnya dengan sajadah termasuk si anak meskipun dia tidak
termasuk yang main-main. Dan saya tanya bagaimana rasa punggungnya, si anak spontan
mengatakan sakit dengan ekspresi agak meringis. Jadi kemungkinan besar pukulan
sang pembina cukup keras. Dan lagi-lagi sang ibu menangis lagi mendengarkan
pengakuan si anak.
Dan saya bisa memaklumi, ibu mana
yang tidak teriris hatinya mendapatkan kenyataan sang buah hati mendapatkan
kekerasan baik secara fisik dan psikis terlebih lagi bukan si anak yang berbuat kesalahan. Tapi sesalah pun anak, kekerasan fisik tidak dibenarkan dalam memberikan hukuman.
Setelah menemukan 3 kejadian
traumatik tersebut saya langsung memproses kejadian tersebut dengan teknik
tertentu sehingga tidak berefek buruk buat si anak mulai sekarang dan selamanya.
Kemudian saya juga membimbing dia untuk memaafkan para pembinanya. Saya
memberikan pemahaman baru bahwa niat para pembina baik tapi cara mereka yang
keliru. Dan untunglah si anak bukan tipe pendendam dan proses memaafkan bisa
berjalan dengan mudah.
Setelah semua selesai saya
meminta anak mengingat kembali kejadian traumatik tersebut dan dia mengatakan
perasaannya sudah nyaman. Kemudian saya menutup dengan sugesti agar si anak
lebih berani, percaya diri, lebih sehat dan mudah menghapal alquran.
Teman-teman sekalian saya yakin dan percaya niat para pembina di
rumah tahfidz tersebut sangatlah baik, yaitu agar semua anak didiknya bisa
menghapal alquran dengan cepat dan tepat. Dan memang terbukti efektif dari segi
hapalan. Menurut pengakuan sang ibu, setelah 2 minggu di rumah tahfidz, si anak
bisa menghapal juz 30 bolak balik dan secara acak dengan tepat. Sebelum masuk
ke rumah tahfidz si anak belum bisa melakukan hal tersebut. TETAPI pola yang
mereka lakukan akan meninggalkan luka fisik dan psikis terhadap anak dan sudah
bisa dipastikan hal ini pasti akan berdampak buruk buat masa depan anak.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap
anak, antara lain :
Dampak
kekerasan fisik
Anak yang
mendapat perlakuan kejam baik dari orang tua atau pun pendidiknya akan menjadi sangat agresif, dan
setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua
agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi
orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan
bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang
diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung
berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap
anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal
dunia.
Dampak
kekerasan psikis
Unicef
(1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti
dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti
bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan,
anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan
bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi
atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan
fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang
termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri,
kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan,
penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
Berdasarkan
hasil penelitian Lise Gliot bahwa Bentakan atau perkataan
kasar akan merusak lebih dari 1 milyar sel otak anak. Mencubit atau memukul
anak akan merusak puluhan miliyar sel otak anak. Tapi dengan 1 pujian,
kehangatan pelukan dan kasih sayang maka akan membangun dengan sangat baik
bibit kecerdasan seorang anak... yang membuat perkembangan otak anak yang
sangat cepat.
Secara Psikologi pola yang tepat dalam
menghapal alquran adalah dengan menciptakan Suasana senang dan membahagiakan.Dengan
hal itu akan membantu anak untuk mengingat hafalannya dalam waktu yang lama,
dengan demikian anak akan berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan perasaan cinta
dan keterikatan terhadap Al-Qur’an.
Bukan dengan kemarahan dan kekerasan. Karena dengan
kemarahan dan kekerasan sang anak akan tumbuh menjadi penghapal alquran yang
pemarah, agresif dan suka dengan kekerasan. Dan tentunya itu tidak sesuai
dengan nilai-nilai dari ayat-ayat alquran yang mereka hapal. Sangat Kontras
bukan???
Beberapa hari setelah Terapi saya, melakukan follow up
kepada sang ibu dan sang ibu mengatakan anaknya sudah ceria kembali dan sudah
pindah ke sekolah tahfidz yang baru yang pola pendidikannya menggunakan
pendekatan persuasif ( tanpa paksaan ), suasana yang menyenangkan, dimulai
dengan ayat-ayat yang mudah dipahami dan mengedepankan keteladanan dan motivasi
Kesimpulan dari postingan ini adalah JANGAN MEMULAI SESUATU YANG BAIK DENGAN CARA YANG TIDAK BAIK KARENA AKAN MENGHASILKAN SESUATU YANG TIDAK BAIK JUGA.
Semoga bisa menjadi bahan renungan dan pembelajaran
untuk kita semua
Dokter Pikiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar